Minggu, 15 Maret 2009

AMAL SHALEH YANG KAFFAH

Amal Saleh

Oleh Buya H. Mas'oed Abidin
http://masoedabidin.blogspot.com/2008/09/amal-saleh-yang-kaffah.html

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Q.S. Al Bayyinah: 7). Ayat Al Qur’an yang mendekatkan kata-kata iman dengan kata amal shaleh, sering dijumpai. Penggandengan kosa iman dan kata amal saleh sudah pasti mengandung pengertian amat dalam. Bahwa iman tidak dapat dipisah dari perilaku amal shaleh. Orang-orang yang sungguh beriman akan selalu mengerjakan amal shaleh, dan selanjutnya amal saleh akan lahir dengan mudah karena adanya iman.

Dalam beberapa hadis Rasulullah SAW menerangkan amal saleh dari orang yang beriman di antaranya ;“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia menghormati tamunya”. (H.R. Muslim)“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia tidak menyakiti tetangganya (HR. Bukhari dan Muslim)“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik-baik atau diam (HR. Bukhari dan Muslim) Ketiga peringatan Rasulullah SAW ini mengungkapkan bahwa tanpa amal shaleh, iman seseorang tidak sempurna. Iman tidak hanya ucapan lisan sahaja, akan tetapi mesti diyakini dalam hati, serta diujudkan dengan perbuatan amal shaleh.

Pada ayat ke 2 dan 3 dari Surat Al Baqarah dijelaskan bahwa orang yang bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada Yang Ghaib (Allah), mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Allah berikan kepada mereka.Perbuatan amal shaleh seperti shalat sebagai hubungan persembahan kepada Allah, dan menafkahkan harta sebagai bentuk hubungan dengan sesama manusia,akan terlaksana dengan sempurna ketika seseorang beriman kepada Yang Ghaib yakni Allah SWT. Iman adalah landasan pertama dari amal shaleh. Baik itu menyangkut amal saleh yang bentuknya ibadah mahdhah atau hablun minallah, seperti shalat, puasa dan haji.Begitu pula amal shaleh yang menyangkut mu‘amalah sesama manusia atau hablun minannas, seperti kepedulian sosial, menyantuni anak yatim dan fakir miskin, suka menolong, mengayomi masyarakat dan sebagainya. Kedua bentuk ibadah ini lahir semata karena iman kepada Allah SWT.Sesungguhnya Allah SWT tidak membedakan dengan tegas tentang hablum minallah dengan hablun minannas ini. Karena kedua amal shaleh ini sesungguhnya amat perlu dijaga keseimbangan antara keduanya. Agama Islam tidak menyenangi sekelompok orang yang tekun beribadah serta hidup dalam kezuhudan semata, tetapi tidak peduli akan keadaan masyarakat dan nasib saudara sesama muslim yang ada di sekelilingnya, atau mengabaikan amar ma’ruf-nahi munkar. Sebaliknya, agama Islam tidak menyukai sekelompok orang yang memiliki kepedulian yang besar terhadap masalah umat, bahkan selalu memperhatikan hak-hak sesamanya, serta berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan sosial, tetapi mengabaikan ibadah mahdhah (ritual) nya. Keharmonisan sikap kedua bentuk ibadah ini yakni antara hablum minannas dan hablum minallah mesti sejalan dan seiring. Tidak bermakna hablum minannas yang tidak didasari oleh hamblum minallah.Demikian juga ibadah hablum minallah tidak bermakna manakala tiodak memperhatikan hubungan sesama manusia.Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam bukunya I’dad al Shabirin wa dzakirat al Syakirin, mengingatkan suatu kelompok jangan terlalu berbangga dengan ibadah dan amal shaleh yang mereka kerjakan, serta menggaggap diri mereka paling utama dalam menjalankan sunnah Nabi ketimbang kelompok lain yang dianggap lebih rendah dari diri mereka.

“Jika para mujahid dan orang-orang yang terjun ke medan perang berhujjah bahwa merekalah kelompok yang paling utama, maka kelompok orang-orang yang berilmu juga berhak untuk berhujjah seperti itu. Jika orang-orang yang berzuhud dan meninggalkan keduniawian berhujjah bahwa inilah kelebihan Rasul yang mereka teladani, maka orang-orang yang aktif menekuni keduniaan, mengurusi masyarakat dan pemerintahan, memimpin rakyat dengan melaksanakan perintah Allah dalam menegakkan agama-Nya juga berhak untuk berhujjah yang sama. Jika orang miskin yang sabar berhujjah bahwa mereka mengikuti sifat mulia Nabi Muhammad SAW, maka orang kaya yang bersyukur juga berhak untuk berhujjah seperti itu...”Sehingga Ibnu Qayyim berkata. “Yang paling berhak atas diri Rasulullah dalam meneladaninya adalah orang yang paling mengetahui sunnah beliau dan kemudian mengamalkannya”. Ungkapan Ibnu Qayyim ini amat jelas, bahwa ibadah dan amal shaleh bukan sekedar mu‘amalah ma‘al Khaliq semata, tetapi mesti dibarengi dengan mu’amalah ma‘an-nas. Amaliah yang totalitas (kaaffah) penyembahan terhadap Allah dan pengabdian kepada sesama makhluk terjalin komplit, meliputi keshalehan ritual (Hablun Minallah) dan keshalehan sosial (Hablun Minannas).

Contoh nyata dari keshalehan yang kaaffah tampak pada ibadah shalat yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Demikian pula dengan ibadah puasa yang mendidik seseorang untuk bersikap toleran dan peduli terhadap sesama. Maka Shalat dan shaum (puasa) mengandung kedua aspek keshalehan baik ritual maupun sosial.Selayaknya setiap muslim meraih keshalehan yang kaffah ini. Tidak semata shaleh secara ritual, dalam artian taat beribadah mahdah kepada Allah saja. Tetapi juga shaleh secara sosial, mampu menciptakan kemaslahatan bagi sesama manusia. Seorang mukmin yang baik mampu menasehati diri sendiri dengan berperipekerti terpuji dan juga mampu menasehati orang lain dengan beramar makruf nahi munkar. ­ Allah SWT berfirman: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja rnereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah (Hablun Minallah) dan tali perjanjian dengan manusia (Hablun Minannas)...” (Q.S. Ali Imran: 112). Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua kepada hidayah-Nya.Amin.

Selasa, 10 Maret 2009

WAKTU UNIVERSAL

Waktu Universal
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Waktu universal (bahasa Inggris Universal Time, disingkat UT) adalah satu ukuran waktu yang didasari oleh rotasi bumi. Satuan ini adalah kelanjutan modern dari GMT (Greenwich Mean Time), yaitu, mean waktu matahari di meridian di Greenwich, Inggris, yang secara lazim dianggap sebagai bujur geografis 0 derajat.
GMT sering secara keliru dianggap sebagai kesamaan dari UTC. Sebenarnya, GMT yang dulu telah dibagi dua, menjadi UTC dan UT1.
Sebelum diperkenalkannya standar waktu, setiap kota menyetel waktunya sesuai dengan posisi matahari di tempat masing-masing. Sistem ini bekerja dengan baik sampai diperkenalkannya kereta api, yang memungkinkan untuk berpergian dengan cepat namun memerlukan seseorang untuk terus-menerus mencocokan jamnya dengan waktu lokal yang berbeda-beda dari satu kota ke kota lain. Standard waktu, dimana semua jam di dalam satu daerah menggunakan waktu yang sama, dibuat untuk memecahkan masalah perbedaan waktu seperti dalam perjalanan kereta api di atas.
Standar waktu membagi-bagi bumi kedalam sejumlah "zona waktu", masing-masing melingkupi (dalam teorinya) paling sedikit 15 derajat. Semua jam di dalam zona waktu ini disetel sama dengan jam lainnya, tapi berbeda sebanyak satu jam dari jam-jam di zona waktu yang bertetanggaan. Waktu lokal di Royal Greenwich Observatory di Greenwich, Inggris, dipilih sebagai standard di Konferensi Meridian Internasional tahun 1884, yang memicu penyebaran pemakaian Greenwich Mean Time untuk menyetel jam di dalam suatu daerah. Lokasi ini dipilih karena sampai tahun 1884, dua pertiga dari semua peta dan bagan menggunakannya sebagai meridian utama (prime meridian).
Di Amerika Serikat dan Kanada, zona waktu standard diperkenalkan tanggal 18 November 1883, oleh perusahaan-perusahaan rel kereta api. Koran-koran menyebutkan hari itu sebagai hari yang memiliki "dua tengah hari" (two noons). Saat itu tidak ada peraturan dari pemerintah, perusahaan-perusahaan tersebut hanya memilih penggunaan sistem lima zona waktu, dan menganggap masyarakat akan mengikutinya. Asosiasi Rel Kereta Api Amerika (ARA), sebuah organisasi beranggotakan penyelenggara rel-rel kereta api, telah melihat munculnya minat dari dunia sains ke arah penyeragaman waktu. ARA membuat sistem zona waktu sendiri, yang memiliki bentuk batas-batas yang tidak regular, mungkin karena ingin menghindarkan tindakan pemerintah yang mungkin mempersulit kegiatan mereka. Sebagian besar masyarakat menerima pemakaian waktu yang baru tersebut, namun sejumlah kota dan kabupaten menolak "waktu rel kereta api", yang pada dasarnya belum dijadikan peraturan. Sebagai contohnya, dalam dokumen-dokumen kontrak legal, apa artinya "tengah malam"? Di dalam satu kasus pengadilan tinggi di negara bagian Iowa, seorang pemilik bar memberikan argumentasi bahwa ia telah menggunakan waktu (matahari) lokal, dalam menentukan jam buka bar miliknya, sehingga ia bersumpah tidak melanggar peraturan daerah tentang jam tutup kegiatan bar. Standard waktu tetap menjadi kebijaksanaan daerah masing-masing, sampai tahun 1918, disaat dijadikannya peraturan bersamaan dengan pengenalan daylight saving time.
Tanggal 2 November 1868, Selandia Baru memutuskan sebuah standard waktu untuk digunakan secara nasional, dan mungkin Selandia Baru menjadi negara pertama yang melakukannya. Standard waktunya adalah berdasarkan 172° 30' longitude sebelah Timur Greenwich, yaitu 11 jam dan 30 menit di depan Greenwich Mean Time. Standard ini dikenal sebagai New Zealand Mean Time.
[sunting] Referensi
Federal Standard 1037C (Amerika Serikat) dan dari Department of Defense Dictionary of Military and Associated Terms dan dari time scale
Galison, Peter. Einstein's clocks, Poincaré's maps: Empires of time. New York: W.W. Norton & Company, 2003. ISBN 0-393-02001-0. Membahas sejarah standardisasi waktu.
O'Malley, Michael. Keeping watch: A history of American time. Washington: Smithsonian, 1996. ISBN 1-56098-672-7

WAKTU DI INDONESIA

Kenapa Indonesia terbagi menjadi 3 zona waktu?
Rabu, Juli 11, 2007 oleh deking
Mungkin semua penduduk dan juga warga negara Indonesia (hayo apa bedanya penduduk dan warga negara hehehe) tahu kalau Indonesia memiliki 3 zona waktu, yaitu:
WIB –> Waktu Indonesia bagian barat (GMT+7 jam) mencakup wilayah Sumatra, Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
WITA –> Waktu Indonesia bagian tengah (GMT+8 jam) meliputi wilayah Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
WIT –> Waktu Indonesia bagian timur (GMT+9 jam) meliputi wilayah Maluku dan Papua.
(Sumber informasi tentang area cakupan masing-masing waktu adalah mbah Wiki).
Yang jadi pertanyaan adalah kenapa Indonesia bisa memiliki 3 zona waktu?
Secara geografis, posisi Indonesia pada bola bumi ini terletak pada koordinat 6°LU - 11°LS dan dari 97° BT - 141°BT (data dari sini). Dari letak bumi secara “melintang” utara-selatan kita bisa mengetahui bahwa wilayah Indonesia terletak pada dua belahan dunia, yaitu di bagian utara khatulistiwa dan di sebelah utara khatulistiwa. Sedangkan secara “membujur”, letak seluruh wilayah Indonesia terletak di sebelah timur Greenwich (sebagai garis bujur 0°). Bentuk wilayah Indonesia lebih mengarah pada “membujur” barat-timur daripada “melintang” utara-selata. Hal tersebut dapat kita lihat dari panjang wilayah Indonesia secara “melintang” utara-selatan yang hanya “sepanjang” 16° (yaitu 6° ke arah utara dan 11° ke arah utara). Sedangkan panjang wilayah Indonesia secara “membujur” barat-timur mencapai 44° (141°-97°).
Secara sederhana garis lintang menunjukkan seberapa jauh jarak utara-selatan suatu lokasi dari garis khatulistiwa, sedangkan garis bujur menunjukkan seberapa jauh jarak barat-timur suatu lokasi dari Greenwich.
Penentuan zona waktu menggunakan acuan waktu di Greenwich atau biasa disebut GMT (Greenwich Mean Time). Hal ini disebabkan karena Greenwich merupakan posisi di mana garis bujurnya 0°. Untuk wilayah-wilayah tertentu maka waktunya tergantung pada seberapa jauh jarak wilayah tsb dari Greenwich secara horisontal atau “membujur” barat-timur.
Kenapa bisa begitu? Tanya kenapa?

[seperti biasa gambar dibuat dengan menggunakan jasa program Cabri Geometry II Plus]
Keterangan:
P dan Q = kutub utara dan selatan celestial sphere (bola angkasa)
p dan q = kutub utara dan selatan bumi
C = titik pusat bumi dan celestial sphere (bola angkasa)
M = Matahari
VE = vernal equinox
g = posisi Greenwich pada permukaan bumi
0 = posisi pengamat pada permukaan bumi
G = posisi semu Greenwich pada celestial sphere (bola angkasa), diperoleh dari perpanjangan garis CgO = posisi semu pengamat pada celestial sphere (bola angkasa), diperoleh dari perpanjangan garis Co
Busur (kalau menjelaskan sudutnya tidak memakai kata “garis busur”) pada posisi pengamat di o adalah sudut OPG.
Maaf, demi menghindari keruwetan penjelasan maka tulisan ini agak saya singkat dan saya (tidak menggunakan beberapa istilah seperti Local Sidereal Time (LST) dan Local apparent solar time (tentu saja teman-teman yang bergelut di bidang astronomi sangat memahami kedua istilah tsb). Semoga tidak dipakainya kedua istilah tsb bisa sedikit memudahkan pemahaman tanpa menghilangkan makna sesunggunya.
Secara sederhananya, penentuan waktu di suatu tempat pengamat dipengaruhi (saya tidak memakai kata “didasarkan” karena penentuan waktu lebih didasarkan pada Local apparent solar time) pada besarnya Hour Angle antara lokasi pengamat dengan posisi matahari di langit. Hour Angle adalah sudut yang dibentuk antara suatu benda langit (misal matahari) dan zenith (posisi atas kepala) seorang pengamat, dimana kutub utara celestial sphere menjadi titik sudutnya. Untuk lebih mudahnya saya berikan contoh berdasarkan gambar di atas:
Hour angle dari matahari terhadap Greenwich adalah sudut GPM
Hour angle dari matahari terhadap pengamat di o adalah sudut OPM.
Pada gambar di atas dapat kita ketahui bahwa besar sudut OPM = GPM+OPM, dimana OPM merupakan busur dari pengamat di o dan GPM sendiri menunjukkan GMT.
Oleh karena itulah penentuan zona waktu dilakukan berdasarkan posisi garis bujur suatu wilayah (bukan garis lintang). Sedangkan garis lintang suatu lokasi lebih mengarah pada penentuan lamanya durasi siang (matahari bersinar) pada lokasi tsb (tulisan tentang ini mungkin lain waktu ya).Selama satu hari (24 jam, sebenarnya lebih tepatnya 23 jam 56 menit) bumi berputar pada porosnya sehingga posisi matahari pada celestial sphere akan membentuk tepat satu lingkaran (yang disebut diurnal circle atau lingkaran harian). Mengingat 1 lingkaran adalah 360° dan satu lingkaran tsb ditempuh dalam waktu 24 jam (pendekatan dari 23 jam 56 menit) maka 1 jam pada satuan waktu diwakili 15° pada ukuran derajat. Dan setiap panjang garis bujur 15° ditetapkan sebagai satu zona waktu tersendiri, yaitu GMT+waktu tsb.
Oleh karena itulah Indonesia terbagi menjadi 3 zona waktu karena panjang wilayah Indonesia secara “membujur” barat-timur adalah 44°, sehingga 44° : 15° = 2,93 (dibulatkan menjadi 3). Sehingga “panjang” zona waktu Indonesia secara keseluruhan adalah 3 jam yang pada akhirnya menyebabkan zona waktu Indonesia dibagi menjadi 3 zona.
Lalu kenapa WIB memiliki zona waktu GMT+7? Hal tsb disebabkan karena ujung barat wilayah Indonesia terletak pada posisi 97° BT, yang berarti ujung barat wilayah Indonesia terletak sejauh 97° dari Greenwich. Mengingat bahwa setiap 15° ditetapkan sebagai satu zona waktu maka 97° : 15°=6,47 menjadikan WIB = GMT+7. Kenapa bukan GMT+6 mengingat 6,47 jika dibulatkan seharusnya menjadi 6? Tetapi karena 97° BT hanyalah ujung timur wilayah Indonesia dan sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah terletak pada posisi lebih dari 97° BT maka ditetapkanlah WIB = GMT + 7.
Untuk WITA dan WIT dapat dijelaskan dengan cara yang sama.
[Sekali lagi penentuan waktu BUKAN berdasar hour angle matahari dan lokasi, tetapi lebih berdasarkan pada Local apparent solar time. Adapun penggunaan hour angle adalah untuk menyederhanakan dan memudahkan istilah. Hour angle HANYA mempengaruhi, bukan MENDASARI]